SEMINAR INTERNASIONAL
“PERAN
DAKWAH DAMAI HABAIB/ALAWIYYIN DI NUSANTARA”
LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini dunia Islam diguncang oleh berbagai pertikaian
sektarian yg mengerikan--sesuatu yg dapat membumihanguskan semua pihak dan
tidak menyisakan harapan bagi umat. banyak pemerhati yg menilai meningkatnya
ekstremisme dan intoleransi di antara umat ini sebenarnya berakar pada
pengajaran dan dakwah Islam yg menjauh dari spiritualitas dan tasawuf. padahal,
secara historis, tasawuf dan spiritualitas inilah yg melambari kesadaran
religius masyarakat asia tenggara sejak awal.
Dalam sejumlah riset kesejarahan tentang masuknya Islam di wilayah
Asia Tenggara, peran golongan keturunan Nabi Muhammad asal Hadhramawt (Yaman
Selatan), yang dikenal dengan Sadah al-‘Alawiyyin atau Habaib selalu disebut-sebut. Ini
menunjukkan peran besar yg mereka emban dalam penyebaran Islam di wilayah ini.
Metode dakwah Islam dan ajaran-ajaran yang mereka bawa dikemas sedemikian
harmonis dengan apa yang menjadi budaya masyarakat lokal sehingga dalam waktu
yg relatif singkat, para tokoh dari kalangan ini mendapat tempat di hati elit
maupun akar rumput bangsa-bangsa Asia Tenggara. Karena pendekatan peruasif dan
damai, kerajaan-kerajaan lokal kemudian dengan leluasa dan suka rela membuka
diri terhadap Islam yg relatif baru, sehingga peluang dakwah semakin luas. Tak
sedikit dari tokoh ‘Alawiyin awal yang dating ke Indonesia kemudian masuk ke dalam
keluarga berbagai kerajaan lokal itu lewat perkawinan.
Kenyataannya, tak sedikit tampuk kepemimpinan kesultanan di Asia Tenggara
sampai saat ini berada di jalur keturunan tokoh-tokoh ini. Termasuk di dalamnya
Kesultanan Pontianak.
Tidak hanya itu. Yang lebih mencengangkan bukanlah betapa cepatnya
ajaran Islam ini menyebar di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara
umumnya, melainkan fakta bahwa Islam menyebar dengan cepat dan dengan cara yg
damai. Berkat dakwah yg damai ini pula akhirnya Islam sebagai agama baru,
dibandingkan Hindu dan Buddha dengan mudah dapat menggugah kesadaran terdalam
masyarakat di wilayah ini.dan segera menjadi agama mayoritas di wilayah ini.
Sebagai ilustrasi, manusia Jawa yg semula begitu menghayati ajaran-ajaran
Hindu, segera mampu menyerap dan menghayati aspek-aspek kebatinan
(spiritualitas atau tasawuf) Islam hingga ajaran Hindu, yang tadinya sedemikian
mengakar itu pun dapat dengan mudah digantikan dengan Islam. Meski masih
diliputi kontroversi, ada teori kuat bahwa sedikitnya delapan dari sembilan
Walisongo yang merupakan pendakwah-utama Islam di Indonesia, pun adalah berasal
dari kalangan Kaum ‘Alawiyin ini. Dapat dikatakan bahwa di masa kini Nahdhatul Ulama
(NU), yang merupakan kelompok Islam terbesar di Indonesia sampai saat ini, to
a great extent, merupakan warisan kaum ‘Alawiyin ini.
Sejumlah besar peneliti sepakat bahwa bobot sufistik dalam
ajaran-ajaran Islam yang sampai ke kawasan ini menyumbang sangat besar bagi
keberhasilan dakwah yang tumbuh pesat dengan cara damai, tanpa melibatkan
penaklukan dan ekspedisi militeristik ini. Sayangnya tradisi pengajaran islam
sufistik ini sekarang justru mendapatkan tantangan dari kaum eksoteris, bahkan
dianggap sebagai menyimpang dari arus utama pemikiran Islam. Sayangnya, penentangan ini terkait erat dengan metoda
dakwah yang merupakan antitesis metyoda dakwah ‘Alawiyin : yakni fundamentalistik dan ekstrimistik
Seminar ini dimaksudkan untuk menggali
akar-akar kultural dakwah damai Islam di Nusantara dan, pada akhirnya,
mempromosikan kembali cara-cara yang lebih manusiawi dalam pergaulan inter dan
antaragama, sekaligus membendung ekstremisme dan radikalisme di Nusantara.
KAUM ’ALAWIYIN, MANHAJ, DAN METODA-DAKWAHNYA
Sebutan ’Alawiyin berasal dari nama salah seorang nenek-moyang
kelompok ini, yakni ’Alwi bin Ubaydillah bin
Ahmad bin ’Isa al-Muhajir bin ‘Ali al-‘Uraydhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husayn bin ‘Ali bin Abi Thalib dari
pekawinannya dengan Fathimah putri Rasulullah SAW. Kisah kaum ‘Alawiyin di Hdhramawt
bermula dari Ahmad bin ‘Isa (bergelar al-Muhajir,
yang berhijrah), yakni tokoh keturunan Rasulullah saw. yang pertama pindah ke
Hadhramawt dari Iraq karena hendak menghindari tekanan politik yang ditimpakan
oleh para penguasa kepada kaum keturunan Rasulullah SAW.
Dalam kaitan ini, tokoh yang paling penting
adalah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaydillah (yakni sumber sebutan ‘Alawiyin. seperti disebut di atas). Tokoh inilah
yang dianggap sebagai peletak pertama dasar-dasar Thariqah ‘Alawiyah, yakni
prinsip-prinsip tasawuf yang mendasarinya dan metoda dakwah dengan jalan damai.
Al-Faqih Al-Muqaddam dilahirkan pada tahun 574 H/1176 M di Tarim,
Hadhramaut Yaman Selatan, Beliau wafat pada tahun 653 H pada usia 79 tahun,
pada malam Jum’at Zulhijjah 653 H, atau malam minggu di akhir bulan Zulhijjah
tahun 653 H /1255M, dan dikebumikan di “Zanbal”, penanggalan wafat beliau diikhtisarkan dengan
hitungan abjad Hijaiyah pada kalimat “Abu Tarim”.
Dalam kehidupannya, tokoh yang pernah mendapatkan kiriman khirqah
(pakaian kesufian) dari Syaikh Abu Madyan – salah seorang guru Ibn ‘Arabi – ini pernah
secara demonstratif melakukan “upacara” simbolik pematahan pedang. Al-Faqih al-Muqaddam mematahkan
pedangnya sebagai simbol politik dan sosial-religius. Ahli sejarah ‘Alawiyin, Sayyid
Muhammad bin Ahmad al-Syathiry mengupasnya, dalam kitab Adwar a-Tarikh
al-Hadhramy sebagai berikut : “Di masa al- Faqih al-Muqaddam dan sebelumya
para penguasa di Hadramaut menyoroti gerak-gerak ‘Alawiyin karena
mereka selalu mendapatkan tempat di hati rakyat
(mengingat klaim kuat keimaman sebagaimana dinyatakan dalam berbagai
hadis dan dipercayai banyak orang). Mereka khawatir tokoh-tokoh di kalangan
kaum ‘Alawiyin dapat
menjadi sumber berkumpulnya kekuatan politik dan ditakutkan dapat menggerogoti
kekuasaan mereka. Bukan hanya selalu mengawasi gerak gerik Alawiyin, para
penguasa ini juga terus menyudutkan kelompok ini, seperti perlakuan para
penguasa sebelumnya, yang bermula sejak Bani Umaiyah, Bani Abbas dan
lainnya (Inilah juga yang mengakibatkan Ahmad bin ‘Isa hijrah ke
Hadhramawt untuk pertama kalinya). Alasan yang sama telah membuat kakeknya,
Shahib Mirbath (Muhammad bin Ali) hijrah dari daerahnya. Juga kematian pamannya
Alwi yang dipercayai diracun oleh al Qahthany, penguasa Tarim saat itu. Maka
pematahan pedang harus dilihat sebagai simbol peletakan senjata, yang berarti
kesediaan untuk menempuh cara-cara damai dalam dakwah dan kemasyarakatan.
Penekanan pada tasawuf dan metoda dakwah secara damai inilah yang kemudian
secara umum mewarnai secara turun temurun “mazhab” kaum ‘Alawiyin di mana pun mereka berada, sampai pada
masa sekarang ini.
TUJUAN SEMINAR
1. Melacak kembali sejarah ’Alawiyin di Nusantara
2. Mengenali metode kaum ’Alawiyin dalam berdakwah
3. Merevitalisasi metode tersebut untuk masa sekarang
4. Melacak interaksi metode dakwah ’Alawiyin dengan ajaran-ajaran tasawuf
5. Mengenali signifikansi hijrah dalam metode dakwah kaum ’Alawiyin
6. Menyegarkan kembali pemahaman tentang Thariqah ’Alawiyyah
7. Mengembalikan sikap toleran dan moderat Islam dalam arus utama
pemikiran Islam Nusantara.
TOPIK-TOPIK SEMINAR
1. Sejarah Masuknya Islam ke Asia Timur Jauh & Nusantara serta peran kaum ’Alawiyin di
dalamnya.
2. Peran kaum ’Alawiyin dalam dakwah dan Penyebaran Islam di Nusantara : tinjauan
historis dan antropologis:
3. Dakwah Damai Islam: Berbagai Tantangan dan Peluang:
4. Metodologi dakwah Kaum ’Alawiyin: Sebuah Studi Komparatif
5.
Membangun kembali dan mereposisi
peran Kaum ’Alawiyin masa kini di Nusantara
6.
Mengembalikan Islam sufistik dalam
dakwah kontemporer di Nusantara
PEMBICARA
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra (UIN – Indonesia)
2. Prof. Dr. Said Aqiel Siraj (PBNU – Indonesia)
3. Habib Lutfi bin Yahya (Indonesia)
4. Habib Zayd Abdurrahman Yahya (Hadramaut Yaman)
5. Prof.
Engseng Ho (Duke University)
6. Dr. Mark Woodward (Arizona State University)
7. Prof.
Dr. Yasmine Shahab (UI-Indonesia)
8. Ismail
Fajrie Al-Attas, Can. Ph.D (Univ. of Michigan – Indonesia)
9. Dr.
Muhammad Naqawi (Aligarh University – India)
10. Dr.
Mahdi Khejepiri (India)
11. Dr. Rajai’ (Marashi Institute – Iran)
12. A
Speaker from Thailand
13. Prof Azyumardi Azra
WAKTU DAN TEMPAT
Seminar Internasional akan dilaksanakan selama dua hari, yaitu:
Hari/tanggal : Sabtu
Minggu 14-15 Juli 2012
Waktu : Pukul
08.30 – 17.00 WIB
Tempat : Gedung
Soverign Jalan TB. Simatupang, Jakarta
PESERTA
Seminar ini akan diikuti 200 peserta undangan, yang terdiri dari
perwakilan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam, akademisi, peneliti, jurnalis dan
LSM di Indonesia.
PELAKSANA
Seminar ini dilaksanakan oleh Lembaga Studi Agama dan Budaya
Indonesia (LSABI) Telp 021-96581081 Fax: 021-79199069
________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar