Pelaksana tugas (plt) Menteri Kesehatan
(Menkes) Ali Gufron mengaku sulit mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok
sebagai bahan mengandung zat adiktif yang harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan. Padahal, penetapan persyaratan produksi, peredaran, dan penggunaan rokok
bertujuan untuk menekan dan mencegah gangguan atau kerugian kesehatan bagi diri
dan/atau masyarakat sekeliling.
“Tapi tidak mudah, terlalu banyak pemangku
kepentingannya seperti perusahaan rokok dan petani tembakau. Intinya, wilayah Indonesia
terlalu bebas untuk rokok. Mau mengatur gambar peringatan bahaya rokok di
produknya saja nggak bisa,” tukas Ali, yang juga Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes),
saat rapat kerja (raker) Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Kemkes
di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6).
Ia menyatakan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan sebenarnya mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok.
“UU mengaturnya meskipun tidak eksplisit. Tetapi kita operasionalkan,” ucapnya.
Kemkes mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Zat Adiktif. Zat adiktif dimaksud meliputi tembakau dan produk yang
mengandung tembakau.
Kemkes berusaha untuk menyusun draft RPP Zat
Adiktif dan selanjutnya Kemkes menyerahkan draft kepada Menteri Koordinator
bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra). “Kita tinggal menunggu Menkokesra
menyerahkannya ke istana (presiden). Kami menghitung resiko atau kerugian
ekonomi dan sosialnya, pertimbangan filosofinya.”
Beberapa senator atau anggota Komite III DPD seperti
Abdi Sumaithi (asal Banten) dan Sulistiyo (asal Jawa Tengah) mempertanyakan pengaturan
produksi, peredaran, dan penggunaan rokok di wilayah Indonesia. “Teori
kesehatan menyatakan, merokok merusak kesehatan tetapi mengapa pemerintah
seperti menteri perindustrian menyatakan ingin mempertahankan pabrik rokok?”
Ali Gufron juga menjelaskan mengapa Indonesia
tidak menandatangani dan meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi undang-undang. Sementara tiga negara terbesar
penghasil tembakau, yaitu China, India, dan Brazil justru menandatangani dan
meratifikasinya.
Ia mengaku, Indonesia kerap ditanyai negara-negara
anggota World Health Organization (WHO) yang merativikasinya. “Kita menjawab,
di Indonesia masih perusahaan rokok dan petani tembakau. Tapi mereka membalas,
“Samalah, di negara-negara lain juga sama, tapi mereka mau menandatanganinya
kok Indonesia nggak.”
Sebagai negara pengguna tembakau terbesar
ketiga di dunia, Indonesia sebenarnya berperan aktif dalam penyusunan FCTC yang
disahkan di Jenewa tahun 2004. Konvensi ditandatangani dan diratifikasi 174
negara. Beberapa poinnya ialah pengurangan dan pembatasan iklan rokok, menambah
cukai produk rokok, membubuhkan gambar peringatan bahaya rokok di produk rokok,
menyediakan area khusus merokok, pembatasan akses anak terhadap rokok, dan
penjualan rokok yang tertutup. Indonesia sesungguhnya melaksanakan beberapa
poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok dan membuat area khusus merokok.
Siaran pers ini dikeluarkan secara
resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat
Jenderal DPD
Penanggungjawab:
M Linda
Wahyuningrum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar