Kamis, 07 Juni 2012

Plt Menkes Ali Gufron: “Wilayah Indonesia terlalu bebas untuk rokok”


 
Pelaksana tugas (plt) Menteri Kesehatan (Menkes) Ali Gufron mengaku sulit mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok sebagai bahan mengandung zat adiktif yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Padahal, penetapan persyaratan produksi, peredaran, dan penggunaan rokok bertujuan untuk menekan dan mencegah gangguan atau kerugian kesehatan bagi diri dan/atau masyarakat sekeliling.
“Tapi tidak mudah, terlalu banyak pemangku kepentingannya seperti perusahaan rokok dan petani tembakau. Intinya, wilayah Indonesia terlalu bebas untuk rokok. Mau mengatur gambar peringatan bahaya rokok di produknya saja nggak bisa,” tukas Ali, yang juga Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), saat rapat kerja (raker) Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Kemkes di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,  Rabu (6/6).
Ia menyatakan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok. “UU mengaturnya meskipun tidak eksplisit. Tetapi kita operasionalkan,” ucapnya. Kemkes mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Zat Adiktif. Zat adiktif dimaksud meliputi tembakau dan produk yang mengandung tembakau.
Kemkes berusaha untuk menyusun draft RPP Zat Adiktif dan selanjutnya Kemkes menyerahkan draft kepada Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra). “Kita tinggal menunggu Menkokesra menyerahkannya ke istana (presiden). Kami menghitung resiko atau kerugian ekonomi dan sosialnya, pertimbangan filosofinya.”
Beberapa senator atau anggota Komite III DPD seperti Abdi Sumaithi (asal Banten) dan Sulistiyo (asal Jawa Tengah) mempertanyakan pengaturan produksi, peredaran, dan penggunaan rokok di wilayah Indonesia. “Teori kesehatan menyatakan, merokok merusak kesehatan tetapi mengapa pemerintah seperti menteri perindustrian menyatakan ingin mempertahankan pabrik rokok?”
Ali Gufron juga menjelaskan mengapa Indonesia tidak menandatangani dan meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi undang-undang. Sementara tiga negara terbesar penghasil tembakau, yaitu China, India, dan Brazil justru menandatangani dan meratifikasinya.
Ia mengaku, Indonesia kerap ditanyai negara-negara anggota World Health Organization (WHO) yang merativikasinya. “Kita menjawab, di Indonesia masih perusahaan rokok dan petani tembakau. Tapi mereka membalas, “Samalah, di negara-negara lain juga sama, tapi mereka mau menandatanganinya kok Indonesia nggak.”
Sebagai negara pengguna tembakau terbesar ketiga di dunia, Indonesia sebenarnya berperan aktif dalam penyusunan FCTC yang disahkan di Jenewa tahun 2004. Konvensi ditandatangani dan diratifikasi 174 negara. Beberapa poinnya ialah pengurangan dan pembatasan iklan rokok, menambah cukai produk rokok, membubuhkan gambar peringatan bahaya rokok di produk rokok, menyediakan area khusus merokok, pembatasan akses anak terhadap rokok, dan penjualan rokok yang tertutup. Indonesia sesungguhnya melaksanakan beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok dan membuat area khusus merokok.

Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh
Bidang Pemberitaan dan Media Visual
Sekretariat Jenderal DPD
                           
Penanggungjawab:
M Linda Wahyuningrum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar